Etika Menyebut Nama Bapak Presiden Joko Widodo-Sahabat, seiring dengan bertumbuhkembangnya teknologi informasi, rasa-rasanya di abad kini ini budaya ketimuran semakin usang semakin pudar. Di mana ciri khas kepribadian bangsa Indonesia yang dikenal dan dirasa penuh sopan santun, ramah tamah, tenggang rasa, dan tepo seliro seakan tergoda oleh alam pergaulan konkret maupun maya sehingga baik terasa atau tidak, usang kelamaan menyusut.
Etika moral yang biasa terkemas dalam kemasan indah yakni "etika dalam pergaulan" baik yang berupa tabiat filosofis maupun teologis sama-sama menjadi kekuatan lahir batin sebagai modal untuk membangun atau meningkatkan kedamaian/kebahagiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebelum saya melanjutkan perihal Etika Menyebut Nama Bapak Presiden Joko Widodo, terlebih dahulu saya kutipkan definisi tabiat berdasarkan Wikipedia. Yang mana Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") ialah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan evaluasi moral. Etika meliputi analisis dan penerapan konsep menyerupai benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Selengkapnya perihal pengertian tabiat dan jenisnya sanggup sahabat baca di Wikipedia.
Jika kita jabarkan secara luas sebetulnya tabiat ini banyak sekali cabang-cabangnya dalam hal nama jenis etika, ada etika dalam keluarga, tabiat anak terhadap orang tua, tabiat bawahan terhadap atasan, etika kepemimpinan, etika dalam bisnis, dan etika-etika lainnya. Sepertinya penggabungan kata tabiat tersebut mengarahkan kepada keidentikan istilah "etika" dengan "tata krama". Oleh alasannya ialah itu khususnya dalam pembahasan pada goresan pena ini, saya juga menggunakan istilah tata krama supaya istilah tabiat terasa lebih mengena.
Sahabat, alasan saya menciptakan goresan pena dengan judul Etika Menyebut Nama Bapak Presiden Joko Widodo adalah supaya saya lebih gampang untuk merangkai kata menjadi sebuah kalimat sehingga via halaman ini saya sanggup memberikan banyak sekali pergeseran nilai tabiat yang saya amati dan rasakan semenjak era/periode terakhir pemerintahannya Bapak Soeharto sebagai Presiden. Jika dihitung ya sudah memasuki dekade/dasawarsa yang kedua alasannya ialah waktu itu Almarhum Bapak Soeharto mengakhiri masa jabatan sebagai presiden pada tahun 1998.
Hal-hal yang akan saya tuliskan ialah perihal merosotnya tabiat pergaulan, dalam hal ini sedikit khusus perihal tabiat memanggil dan menyebut nama orang baik dalam bahasa tulis atau lisan.Hal ini juga saya tuliskan berdasarkan hasil pengamatan maupun yang saya rasakan langsung/dialami sendiri, yang antara lain sebagai berikut :
1. Etika memanggil/menyebut nama dalam lingkungan keluarga
Menurut pengamatan saya, tabiat menyebut nama dalam lingkungan kelurga sudah mulai pudar. Misalnya seseorang yang mempunyai kakak sepupu kebetulan umur kakak sepupunya itu lebih muda yang secara tabiat bagusnya memanggilnya dengan "kak'' tapi kini sudah mulai banyak yang tidak memakainya dengan dalih bahwa yang lebih muda lah yang harusnya memanggil sebutan "kak" terhadap yang lebih bau tanah umurnya.Intinya sebutan dengan tabiat yang benar dalam lingkungan keluarga jikalau dengan saudara iringan ( saudara 1 kakek atau 1 buyut ) ini sudah mulai memudar. Semoga tabiat dalam menyebut nama dalam keluarga inti jangan hingga pudar. Dan mudah-mudahan juga orang Indonesia menjaga budaya ketimuran, sehingga sebutan nama ke saudara iringan pun sanggup kembali menyerupai tabiat yang benar.
2. Etika memanggil/menyebut nama sesama teman
Etika memanggil nama teman, khususnya di kalangan generasi muda sudah mulai luntur, terbukti hampir semua anak muda itu mempunyai nama panggilan/julukan yang sudah lepas dari nama aslinya. Ini terdengar di dunia konkret dan sering terlihat di dunia maya dalam bentuk tulisan. Padahal sudah menjadi etika, di mana memanggil sahabat ya harus dengan panggilan sesuai namanya atau dengan panggilan yang baik, dan jikalau sahabat umurnya lebih bau tanah maka sebaiknya bahkan seharusnya jangan hingga memanggil namanya langsung, berilah komplemen contohnya kak, mas/mba,pak/bu, bang, dan sebutan tanda penghormatan yang lain. Haduh, kini malah baik di kalangan muda/tua sudah usang menjadi sebutan terkenal dengan sebutan komplemen "bro" dan sejenisnya.
3. Etika memanggil/menyebut nama anak buah dan pimpinannya
Jika seseorang posisinya sebagai anak buah maka harus menyebut atasannya dengan hormat. Sebaliknya, jikalau seseorang posisinya sebagai pemimpin/atasan maka sebagai bentuk penghargaannya juga harus menyebut anak buahnya dengan sebutan yang terpuji/baik.
Sahabat, alasannya ialah di atas saya menyebutnya antara lain dari pola penerapan etika, maka di halaman ini cukup saya sebutkan 3 pola tabiat tersebut di atas saja. Adapun contoh-contoh yang lain sebetulnya kurang lebihnya mencangkup 3 pola tabiat tersebut.
Pembaca yang setia, membahas perihal tabiat dalam menyebut nama seseorang, saya jadi teringat masa kecil. Di mana jaman abad pemerintahannya Almarhum Bapak Soeharto menjadi presiden, jikalau ada orang yang menyebut nama presiden dengan nama orisinil tanpa komplemen Bapak atau Presiden maka orang,dalam hal ini dulu saya masih kecil, maka teman-teman yang lain pun menakut-nakuti dengan bilang " awas hati-hati, jikalau menyebut nama orisinil presiden tanpa komplemen akan dihukum".
Ini berarti pada jaman dulu ( sebelum tahun 1998 ) tabiat menyebut nama orang masih kental digunakan/diterapkan. Hal ini terlihat adanya rasa jera jikalau kebablasan bilang/menyebut nama pejabat tanpa embel-embel.
Pada masa itu juga di media masa baik surat kabar menyerupai koran dan majalah, para penulis selalu memperhatikan dan mempraktekkan tabiat menyebut namanya orang yang diberitakan dengan menambah komplemen yang disesuaikan. Begitu juga di media radio dan televisi, para wartawan, presenter, penyiar, dan pembawa program jenis lainnya selalu memperlihatkan pola kepada para pendengarnya dengan menambah komplemen pak/bu dan sebagainya jikalau dalam naskah beritanya ada nama orang, terlebih jikalau orang yang disebutnya ialah pejabat pemerintah.
Sahabat , dalam dunia pers kelihatannya obyektifitas dan tabiat mulai sedikit memudar ketika ada gerakan reformasi 1998. Saat itu saya sering mendengar isu di mana pembaca beritanya tidak selalu memberi komplemen Bapak ketika membaca naskah isu yang di situ ada nama presiden. Hal ini pun sering saya jumpai dalam penyebutan nama presiden semenjak presiden NKRI dijabat oleh Bapak Habibie, Bapak KH. Abdurrahman Wahid, Ibu Megawati, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Bapak Presiden Joko Widodo, baik pada penulisan di isu internet dan surat kabar maupun pengucapan di isu radio dan televisi.
Penyebab tabiat pemanggilan/penyebutan nama orang semakin pudar antara lain :
Etika moral yang biasa terkemas dalam kemasan indah yakni "etika dalam pergaulan" baik yang berupa tabiat filosofis maupun teologis sama-sama menjadi kekuatan lahir batin sebagai modal untuk membangun atau meningkatkan kedamaian/kebahagiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebelum saya melanjutkan perihal Etika Menyebut Nama Bapak Presiden Joko Widodo, terlebih dahulu saya kutipkan definisi tabiat berdasarkan Wikipedia. Yang mana Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") ialah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan evaluasi moral. Etika meliputi analisis dan penerapan konsep menyerupai benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Selengkapnya perihal pengertian tabiat dan jenisnya sanggup sahabat baca di Wikipedia.
Jika kita jabarkan secara luas sebetulnya tabiat ini banyak sekali cabang-cabangnya dalam hal nama jenis etika, ada etika dalam keluarga, tabiat anak terhadap orang tua, tabiat bawahan terhadap atasan, etika kepemimpinan, etika dalam bisnis, dan etika-etika lainnya. Sepertinya penggabungan kata tabiat tersebut mengarahkan kepada keidentikan istilah "etika" dengan "tata krama". Oleh alasannya ialah itu khususnya dalam pembahasan pada goresan pena ini, saya juga menggunakan istilah tata krama supaya istilah tabiat terasa lebih mengena.
Sahabat, alasan saya menciptakan goresan pena dengan judul Etika Menyebut Nama Bapak Presiden Joko Widodo adalah supaya saya lebih gampang untuk merangkai kata menjadi sebuah kalimat sehingga via halaman ini saya sanggup memberikan banyak sekali pergeseran nilai tabiat yang saya amati dan rasakan semenjak era/periode terakhir pemerintahannya Bapak Soeharto sebagai Presiden. Jika dihitung ya sudah memasuki dekade/dasawarsa yang kedua alasannya ialah waktu itu Almarhum Bapak Soeharto mengakhiri masa jabatan sebagai presiden pada tahun 1998.
Etika Menyebut Nama Bapak Presiden Joko Widodo
Sumber Gambar : www.tempo.co
Hal-hal yang akan saya tuliskan ialah perihal merosotnya tabiat pergaulan, dalam hal ini sedikit khusus perihal tabiat memanggil dan menyebut nama orang baik dalam bahasa tulis atau lisan.Hal ini juga saya tuliskan berdasarkan hasil pengamatan maupun yang saya rasakan langsung/dialami sendiri, yang antara lain sebagai berikut :
1. Etika memanggil/menyebut nama dalam lingkungan keluarga
Menurut pengamatan saya, tabiat menyebut nama dalam lingkungan kelurga sudah mulai pudar. Misalnya seseorang yang mempunyai kakak sepupu kebetulan umur kakak sepupunya itu lebih muda yang secara tabiat bagusnya memanggilnya dengan "kak'' tapi kini sudah mulai banyak yang tidak memakainya dengan dalih bahwa yang lebih muda lah yang harusnya memanggil sebutan "kak" terhadap yang lebih bau tanah umurnya.Intinya sebutan dengan tabiat yang benar dalam lingkungan keluarga jikalau dengan saudara iringan ( saudara 1 kakek atau 1 buyut ) ini sudah mulai memudar. Semoga tabiat dalam menyebut nama dalam keluarga inti jangan hingga pudar. Dan mudah-mudahan juga orang Indonesia menjaga budaya ketimuran, sehingga sebutan nama ke saudara iringan pun sanggup kembali menyerupai tabiat yang benar.
2. Etika memanggil/menyebut nama sesama teman
Etika memanggil nama teman, khususnya di kalangan generasi muda sudah mulai luntur, terbukti hampir semua anak muda itu mempunyai nama panggilan/julukan yang sudah lepas dari nama aslinya. Ini terdengar di dunia konkret dan sering terlihat di dunia maya dalam bentuk tulisan. Padahal sudah menjadi etika, di mana memanggil sahabat ya harus dengan panggilan sesuai namanya atau dengan panggilan yang baik, dan jikalau sahabat umurnya lebih bau tanah maka sebaiknya bahkan seharusnya jangan hingga memanggil namanya langsung, berilah komplemen contohnya kak, mas/mba,pak/bu, bang, dan sebutan tanda penghormatan yang lain. Haduh, kini malah baik di kalangan muda/tua sudah usang menjadi sebutan terkenal dengan sebutan komplemen "bro" dan sejenisnya.
3. Etika memanggil/menyebut nama anak buah dan pimpinannya
Jika seseorang posisinya sebagai anak buah maka harus menyebut atasannya dengan hormat. Sebaliknya, jikalau seseorang posisinya sebagai pemimpin/atasan maka sebagai bentuk penghargaannya juga harus menyebut anak buahnya dengan sebutan yang terpuji/baik.
Sahabat, alasannya ialah di atas saya menyebutnya antara lain dari pola penerapan etika, maka di halaman ini cukup saya sebutkan 3 pola tabiat tersebut di atas saja. Adapun contoh-contoh yang lain sebetulnya kurang lebihnya mencangkup 3 pola tabiat tersebut.
Pembaca yang setia, membahas perihal tabiat dalam menyebut nama seseorang, saya jadi teringat masa kecil. Di mana jaman abad pemerintahannya Almarhum Bapak Soeharto menjadi presiden, jikalau ada orang yang menyebut nama presiden dengan nama orisinil tanpa komplemen Bapak atau Presiden maka orang,dalam hal ini dulu saya masih kecil, maka teman-teman yang lain pun menakut-nakuti dengan bilang " awas hati-hati, jikalau menyebut nama orisinil presiden tanpa komplemen akan dihukum".
Ini berarti pada jaman dulu ( sebelum tahun 1998 ) tabiat menyebut nama orang masih kental digunakan/diterapkan. Hal ini terlihat adanya rasa jera jikalau kebablasan bilang/menyebut nama pejabat tanpa embel-embel.
Pada masa itu juga di media masa baik surat kabar menyerupai koran dan majalah, para penulis selalu memperhatikan dan mempraktekkan tabiat menyebut namanya orang yang diberitakan dengan menambah komplemen yang disesuaikan. Begitu juga di media radio dan televisi, para wartawan, presenter, penyiar, dan pembawa program jenis lainnya selalu memperlihatkan pola kepada para pendengarnya dengan menambah komplemen pak/bu dan sebagainya jikalau dalam naskah beritanya ada nama orang, terlebih jikalau orang yang disebutnya ialah pejabat pemerintah.
Sahabat , dalam dunia pers kelihatannya obyektifitas dan tabiat mulai sedikit memudar ketika ada gerakan reformasi 1998. Saat itu saya sering mendengar isu di mana pembaca beritanya tidak selalu memberi komplemen Bapak ketika membaca naskah isu yang di situ ada nama presiden. Hal ini pun sering saya jumpai dalam penyebutan nama presiden semenjak presiden NKRI dijabat oleh Bapak Habibie, Bapak KH. Abdurrahman Wahid, Ibu Megawati, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Bapak Presiden Joko Widodo, baik pada penulisan di isu internet dan surat kabar maupun pengucapan di isu radio dan televisi.
Penyebab tabiat pemanggilan/penyebutan nama orang semakin pudar antara lain :
- antara subjek dengan objek mempunyai pendapat/pandangan yang berbeda atau terjadi perselesihan batin, dalam kata lain antara rasa suka/tidak suka
- melemahnya budaya ketimuran sehingga mana yang sudah dilakukan oleh banyak orang/menjadi pengadatan dianggap hal yang sudah benar tanpa memperhatikan kaidah kebenaran yang pegang sebelumnya.
- kurangnya kesadaran bahwa menabrak tabiat itu akan berakibat jelek bagi dirinya dan lingkungannya, atau jikalau hal ini dilakukan oleh media massa maka akan sangat memengaruhi audiens
Cara memperbaiki/meningkatkan penerapan etika/tata krama/ budaya ketimuran antara lain :
- mengamalkan fatwa agama
- mematuhi peraturan pemerintah
- saling menghormati/menghargai orang lain
- mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau golongan
- mengkaji ulang perihal kebenaran pribadi, kebenaran berdasarkan orang lain, dan kebenaran berdasarkan aturan ( aturan agama dan aturan pemerintah )
- bekerja/berbuat/bertindak sportif dan profesional
Demikian perihal Etika dan Budaya Ketimuran yang saya tulis dengan judul Etika Menyebut Nama Bapak Presiden Joko Widodo. Saran dan kritik yang membangun selalu saya harapkan dari para pembaca blog ini. Semoga Etika Moral bangsa Indonesia selalu terjaga walaupun gelombang teknologi semakin canggih. Aamiin
0 Response to "Etika Menyebut Nama Bapak Presiden Joko Widodo"
Post a Comment